Cari Blog Ini

Sunday, 7 September 2014

Oral Hygiene Pada Anak Kritis

 ORAL HYGIENE PADA PASIEN KRITIS ANAK

Sumber: http://www.indonetwork.co.id
Disusun Oleh: Dody Setyawan

Pediatric Intensive Care Unit (PICU) merupakan unit yang merawat pasien pediatric dengan penyakit kritis yang lebih diarahkan untuk mengatasi ketidakstabilan sirkulasi. Kondisi pasien tersebut selalu dipantau dengan alat bantu monitoring pasien yang disebut bed side monitor. Pasien pediatric yang dirawat di ruang PICU karena penyakit yang tergolong kritis, tidak menutup kemungkinan akan terjadi penurunan daya imunitas tubuh, sehingga harus benar-benar mendapatkan perawatan yang intensif dan sesuai prosedur yang ditetapkan untuk mencegah timbulnya permasalahan baru pada pasien karena suatu infeksi nosokomial (Kidd, 2001). 
Infeksi Nosokomial (INOS) adalah infeksi yang terjadi atau didapat pasien selama dirawat di rumah sakit. Penularan Infeksi nosokomial di rumah sakit dapat terjadi melalui cara silang (cross infection) dari satu pasien kepada pasien lainnya atau infeksi diri sendiri dimana kuman sudah ada pada pasien, kemudian melalui suatu migrasi pindah tempat dan ditempat yang baru menyebabkan infeksi (self infection atau auto infection) (Tim RSUP Dr.Kariadi,2004). Infeksi nosokomial yang sering terjadi pada pasien kritis adalah nosokomial pneumonia. 
Pada pasien kritis anak seperti respiratory failure et caused severe sepsis, emphyema et caused staphylococcus aureus dan bronkhopneumoniae yang dirawat di ruang Pediatric Intensive Care Unit (PICU) dengan GCS E3M6VETT, pernapasan menggunakan ventilator mode pressure control, IPL 20 cmH2O, PEEP 5 cmH2O, I:E ratio 1:1.9, dan FiO2 nya 70%. Kondisi pasien yang terintubasi dan terpasang ventilator ini merupakan resiko tinggi untuk terjadinya atau terpapar mikroorganisme pathogen didaerah mulut yang nantinya bisa migrasi dan invasi ke paru. Kondisi klien yang terintubasi dan terpasang ventilator tetap sangat beresiko tinggi terjadinya infeksi nosokomial yang sering disebut Ventilator Acquired Pneumoniae (VAP). Jika hal tersebut terjadi akan memperburuk prognosis pasien dan memperlama waktu rawat yang pada akhirnya akan meningkatkan biaya perawatan. 
Berbagai cara telah diteliti untuk melakukan pencegahan terhadap infeksi tersebut. Pencegahan tersebut dibagi menjadi 2 yaitu strategi farmakologi dan non farmakologi. Strategi farmakologi lebih mengarah untuk menurunkan kolonisasi saluran cerna terhadap kuman pathogen sedangkan strategi non farmakologi bertujuan untuk menurunkan kejadian aspirasi. Strategi non farmakologi yang dilaksanakan meliputi menghindari reintubasi trakea, penggunaan ventilasi mekanik sesingkat mungkin, subglottic suctioning, pemakaian heat and moisture exchangers, head of bed (elevation of head of bed 30-45⁰), oral care, early mobility, dan hand washing dengan antiseptic (Wiryana Made, 2007). 
Oral hygiene merupakan salah satu bentuk pencegahan yang mendapatkan banyak perhatian akhir-akhir ini, dikarenakan banyak perawat yang masih beranggapan bahwa oral hygiene merupakan tindakan yang tidak terlalu diprioritaskan, padahal pada pasien pediatric yang dalam waktu 48 jam setelah terintubasi dan menggunakan ventilator, flora oroparink akan mengalami perubahan dari gram positif menjadi negative dan virulent flora, sehingga bisa masuk ke paru dan menghasilkan VAP. Hasil yang dilaporkan oleh Lisa Johnstone et al (2010) dalam artikelnya menunjukkan bahwa angka kematian karena infeksi tersebut sekitar 11% di PICU. 
Oral care bagi pasien yang bed rest total sangat penting karena rongga mulut merupakan sumber utama kontaminasi paru–paru pada pasien yang diintubasi dan kondisi pasien yang lemah. Hal tersebut untuk mencegah aspirasi kuman ke dalam paru-paru (Davidson, 2002). Kesehatan mulut dipengaruhi oleh flora mikrobia di mulut, yang ditandai dengan timbulnya plak di gigi. Plak Gigi merupakan microhabitat atau tempat hidup dan berkembang organisme serta kesempatan bergabung dengan organisme lain pada permukaan gigi. Pada pasien kritis, potensial pathogens dapat berkembang dalam rongga mulut. Hal ini disebabkan karena proses penyakit pada pasien yang kritis akan mengurangi substansi pelindung pada lapisan mulut yang disebut fibronectin. Kehilangan substansi tersebut akan menyebabkan melemahnya system pertahanan oleh sel reticuloendhotelial. Melemahnya system pertahanan tersebut menimbulkan kolonisasi kuman pathogen dalam mulut. Jasad renik ini pada mulut dapat berpindah dan membentuk koloni di paru-paru, koloni pathogen pada orofaringeal dan mikroorganisme yang ada pada sekret di sirkuit endotracheal tube (ET) tersebut ikut teraspirasi pada pernafasan klien sehingga bisa mengakibatkan pneumonia (Astuti, 2010).
Pada pasien kritis akan beresiko terjadinya defisiensi imunologi sehingga tidak dapat merespon atau memberikan perlawanan terhadap invasi bakteri yang masuk kedalam paru. Bakteri pathogen yang sering berkontribusi menyebabkan nosokomial pneumonia di ruang PICU, banyak ditemukan pada plak gigi dan mukosa mulut. Pasien yang terintubasi, daerah sekitar mulut termasuk gigi dan rongga mulut beresiko tinggi terkena kolonisasi bakteri pathogen dikarenakan oral hygiene yang kurang tepat dan optimal, misalnya sering mengalami kesusahan dalam melakukan oral hygiene karena terhambat adanya endotracheal tube (ETT) dan kadang respon pasien yang tiba-tiba menggigit. 
ETT akan memfasilitasi perjalanan bakteri pada anak-anak yang terintubasi karena reflek gag dan batuk yang lemah serta imobilisasi. Selain itu penggunaan NGT atau OGT pada anak membuat adanya saluran yang melewati rongga mulut. Hal ini menyebabkan rongga mulut terbuka sehingga mudah berkontribusi terhadap terjadinya xerostomia. Obat-obatan juga berpengaruh untuk mengurangi kerja saliva seperti inotropik, diuretic, antikonvulsan. Padahal kita ketahui bahwa kerja saliva berfungsi dalam membersihkan mulut dengan menjaga kelembapan membrane mukosa mulut, mengatur PH mulut dan mencerna makanan. Biofilm yang dibentuk oleh saliva berfungsi sebagai lapisan pelindung pada gigi. Saliva juga berisi protein natural antimikroba yang melindungi rongga mulut dari pathogen yang berbahaya. Oral hygiene dalam pediatric critical ill masih sering diabaikan dan menjadi sesuatu yang kurang diprioritaskan. Berdasarkan hal itulah Johnstone, L et al (2010) dalam jurnal yang berjudul ”Oral Hygiene Care in the Pediatric Intensive Care Unit: Practice Recommendation” melakukan pengkajian awal terkait faktor-faktor apa yang menyebabkan oral hygiene sebagai tindakan yang kurang diprioritaskan. Dari hasil survey dengan kuesioner yang disebarkan oleh peneliti, didapatkan identifikasi masalahnya antara lain: tidak adanya clinical protocol oral hygiene, multiple oral hygiene practice termasuk perawatan oral hygiene yang tidak adekuat, rendahnya konsistensi perawatan oral hygiene, rendahnya pengetahuan tentang efektifitas oral hygiene, dan kurang tersedianya peralatan standard untuk oral hygiene. Berdasarkan hasil identifikasi masalah tersebut, maka peneliti melakukan literature review dari berbagai penelitian terkait oral hygiene untuk mendapatkan practice recommendation terkait oral hygiene care in PICU. Hasil literature review dari berbagai penelitian terkait didapatkan 3 kategori yang direkomendasikan dalam perawatan oral hygiene, yaitu pengkajian kebersihan dan kesehatan mulut, intervensi secara mekanik dan intervensi farmakologi. 
Pengkajian kebersihan dan kesehatan mulut yang direkomendasikan oleh peneliti tersebut melalui hasil literature reviewnya adalah menggunakan “BRUSHED teeth” assessment tool yang diadop dari Hayes dan Jones (1995) dalam Johnstone, L et al (2010). BRUSHED teeth terdiri dari (B=Bleeding, R=Redness, U=Ulceration, S=Saliva, H=Halitosis, E=External Factors, D=Debris dan Teeth). Pengkajian ini bisa untuk menentukan apakah terjadi masalah seperti adanya sariawan atau mungkin gingivitis pada mulut, karena hasil pengkajian ini digunakan sebagai indicator kesehatan mulut dan teknik serta terapi yang digunakan untuk oral health. Kondisi kurang bersihnya mulut dan rongga mulut, adanya luka atau bahkan infeksi di sekitar mulut sangat beresiko terbentuknya kolonisasi bakteri pathogen lebih banyak dan bisa berinvasi masuk ke dalam alveoli paru. Penggunaan pengkajian kesehatan mulut ini juga didukung dari jurnal penelitian lain seperti artikel yang ditulis oleh Randa et al (2007) tentang “Oral Care in the Intensive Care Unit: A Review” yang juga menggunakan “BRUSHED teeth” assessment tool. Selain itu perlunya tool assessment dalam mengkaji kesehatan mulut juga diterapkan oleh Ullman, A., et al (2011) tentang “The oral health of critically ill children: an observational cohort study” dimana tool yang digunakan adalah Oral Assessment Scale (OAS) dengan kategori: OAS= 5 berarti tidak ada disfungsy kesehatan mulut, OAS 6-10 berarti disfungsi sedang, OAS > 10 berarti disfungsi berat. 



Tindakan secara mekanik (mechanical intervention) oral hygiene yang direkomendasikan bertujuan untuk menghilangkan plak gigi dan debris di rongga mulut pada pasien pediatric yang sakit kritis di PICU. Tindakan yang direkomendasikan adalah membersihkan gigi dari plak dengan menggunakan toothbrush yang lembut dan kecil, hal ini lebih efektif menghilangkan plak gigi daripada dengan foam swab. Penelitian yang dilakukan oleh franklin et al (2000) dalam Johnstone, L., et al (2010) di ruang PICU United Kingdom memaparkan hasil bahwa penggunaan foam swab dalam perawatan oral hygiene justru meningkatkan akumulasi plak gigi, sehingga tetap direkomendasikan untuk menggunakan small and soft toothbrush. Pada bayi yang gusi dan giginya belum muncul direkomendasikan untuk menggunakan toothbrush yang kecil dan sangat lembut atau swab kasa yang dibasahi dengan saline. Hal ini didukung dengan pernyataan Randa et al (2007) yang menyatakan bahwa penggunaan small toothbrush efektif untuk menghilangkan plaque gigi. Penelitian Ullman, A., et al (2011) menunjukkan bahwa rata-rata pediatric yang dilakukan perawatan oral hygiene menggunakan foam swab (28 sampel) dan toothbrush (hanya 1 sampel), terdapat 41 % terdapat kolonisasi pathogen di orofarinknya. 
Dari berbagai penelitian yang direview oleh peneliti menunjukkan bahwa penggunaan fluoride dalam pasta gigi akan mengurangi kejadian plak gigi pada anak yang sakit kritis. Kadar fluoride yang direkomendasikan adalah minimal 1000 ppm F. selain itu penggunaan clorhexidine glutamate juga merupakan spectrum luas antibakteri mulut untuk dekontaminasi orofarink dan mencegah karies gigi. Clorhexidine gluconate akan terlepas dari permukaan mulut dalam waktu 8-24 jam sehingga direkomendasikan untuk menggunakan clorhexidine glukonate 12 jam sekali dan diberi selang waktu 30 menit setelah diberikan pasata gigi fluoride (tidak direkomendasikan untuk diberikan bersamaan) (rekomendasi untuk anak > 6 tahun). Berdasarkan pernyataan dari Munro dan Grap (2004) dalam Johnstone, L., et al (2010) bahwa tidak ada efek serius penggunaan clorhexidine. Hasil literature review bahwa penggunaan pasta gigi yang mengandung fluoride dan dibilas dengan clorhexidine gluconate sangat efektif untuk oral hygiene di lingkungan criticall care. Hal ini sesuai dengan penelitian dari Ullman, A., et al (2011) bahwa participant pediatric yang oral hygienenya kebanyakan dibilas dengan menggunakan air biasa dan hanya 1 yang menggunakan clorhexidine menunjukkan 41 % terpapar bakteri pathogen di orofarinknya. 


Alur perawatan oral hygiene tersebut diadop dari Johnstone, L., et al (2010), dengan keterangan:
a.    Penjelasan prosedur pada pasien dan keluarga
b.    Memposisikan pasien head of bed (tanpa kontraindikasi)
c.    Mencuci tangan dan mengeringkan tangan
d.   Menggunakan sarung tangan
e.    BRUSHED Teeth Oral Assessment
f.     Melembabkan mulut dengan foam swab yang direndam di normal saline (dilakukan setiap 2 jam)
g.  Menggosok gigi dengan sikat gigi yang kecil dan bulu lembut serta menggunakan pasta gigi berflouride. Suction jika berlebihan tapi jangan dibilas (dilakukan setiap 12 jam)
h.    Sama dengan point G
i.      Melumasi bibir dengan Vaseline (dilakukan setiap 2 jam)
j.  Melembabkan mulut dengan foam swab yang direndam dalam normal saline atau air bersih (dilakukan setiap 2 jam)
k.    Bilas mulut dengan clorhexidine 0,1% atau clorhexidine 0,2 % 10 ml dicampur dengan air 10 ml dan irigasikan menggunakan syringe atau foam swab dalam mukosa mulut. Suction jika berlebihan, tapi jangan dibilas dengan air (dilakukan setiap 12 jam). Jarak antara pemberian clorhexidine dengan pasta gigi fluoride adalah 30 menit
l.      Lepas sarung tangan, cuci tangan dan keringkan. Catat hasil pengkajian dan tindakan
m.  Lumasi bibir dengan Vaseline (setiap 2 jam)
n.  Melembabkan mulut dengan foam swab yang direndam dalam normal saline atau air bersih (dilakukan setiap 2 jam)
o.    Lepas sarung tangan, cuci tangan dan keringkan. Catat hasil pengkajian dan tindakan
p.    Lumasi bibir dengan Vaseline (setiap 2 jam)
q.    Lepas sarung tangan, cuci tangan dan keringkan. Catat hasil pengkajian dan tindakan 



DAFTAR PUSTAKA

Amanda ullman et al. 2011. The oral health of critically ill children: an observational cohort study. Australia: Blackwell Publishing Ltd, Journal of Clinical Nursing, 20, 3070–3080 doi: 10.1111/j.1365-2702.2011.03797.x

Astuti Marilyn Diah. 2010. Evidence based practice sederhana : penerapan chlorhexidine, toothbrushing dan pencegahan vap (ventilator-associated pneumonia) pada tn. g dengan bantuan ventilasi mekanik di ruang icu rsup dr. kariadi semarang. Semarang : PSIK FK UNDIP.

Davidson.C, Treacher.D. 2002. Respiratory critical care. London: Arnold. Diposkan tanggal 2 Mei 2006. Diakses tanggal 4 Juni 2010. URL : http://www.ajcconline.org

Kidd Pamela Stinson.  High acuity nursing. 3rd edition. New Jersey  : Prentice Hall. 2001

Lisa Johnstone et al. 2010. Oral Hygiene Care in the Pediatric Intensive Care Unit: Practice Recommendations.

Randa et al. 2007. Oral Care in the Intensive Care Unit: A Review. The Journal of Contemporary Dental Practice, Volume 8, No. 1.

Tim RSUP Dr. Kariadi. 2004. Buku pedoman pengendalian infeksi nosokomial rumah sakit dr. kariadi. Edisi III. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Wiryana Made. 2007. Ventilator assiciated pneumonia. Bagian/SMF Ilmu Anestesi dan Reanimasi, FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar. J Peny Dalam, Volume 8 Nomor 3 Bulan September 2007


NUMPANG SHARE:

Berita gembira untuk para pengguna android, saat ini android menyediakan aplikasi whaff di google play. Apakah aplikasi Whaff rewards tersebut? aplikasi tersebut adalah aplikasi yang dapat memberikan recehan dollar bagi pengguna aplikasi terserbut. Kenapa tidak..ketika kita menginstal aplikasi tersebut aja dengan login dan memasukan kode kunci untuk start aplikasi kita sudah mendapatkan 0.30$. Recehan dollar akan kita dapat kembali jika kita mendownload dan menginstal games atau aplikasi yang tersedia di whaff tersebut dengan besaran yang diperoleh sekitar 0.05$. semakin banyak mendownload aplikasi dan memainkan aplikasi yang disediakan di whaff tersebut, recehan dollar akan semakin terkumpul. Dollar tersebut dapat diuangkan melalui sistem Paypal. Proses penguangan menggunakan paypal sangat mudah, bisa anda cari di internet. Cara mendownload dan menginstal aplikasi whaff adalah sebagai berikut:

1.Klik Play Store
2.Search Whaff Reward
3.Download 
4.Login Via Facebook
5.Setelah Login Akan Di Suruh Masukin Kode, Masukin kode BS75512 Maka Akan Mendapatkan Bonus 0.30$
6.Download Applikasi Yang Tersedia Di Whaff, Setiap Aplikasi Dihargai "$" Berbeda Beda
7.Kumpulkan MINIMAL PAYOUT 10$ baru bisa diuangkan lewat paypal


Cobalah tidak akan merugi

No comments:

Post a Comment

Contact Us

Name

Email *

Message *