Cari Blog Ini

Tuesday, 26 August 2014

SINDROM DOWN



SINDROM DOWN

A.      DEFINISI
Sindrom Down merupakan kelainan kromosom dimana ada kesalahan dalam pembelahan sel embrio yang mereplikasi kromosom 21 dan dihasilkan additional chromosome 21 yang disebut trisomi 21 dan nantinya akan menimbulkan berbagai kelainan ketika lahir. Hal ini menyebabkan keterlambatan perkembangan seorang anak baik secara fisik maupun mental (Craig Stellpflug, 2009).
                                        Karotip kromosom manusia normal



B.   ETIOLOGI
Sindrom down disebabkan oleh adanya kelainan kromosom yaitu adanya additional kromosom 21 yang disebut trisomi 21. Hal ini disebabkan karena adanya non-disjunction kromosom 21 selama proses pembelahan sel aslinya yang menghasilkan additional kromosom 21 sehingga total kromosom menjadi 47 di setiap selnya bukan 46 kromosom. Non-disjunction adalah peristiwa gagalnya pemisahan pasangan kromosom.
Pada sindrom down kromosom 21 memiliki 3 kembaran (copy), berbeda dengan kromosom normal yang hanya memiliki 2 kembaran. Kesalahan penggandaan tersebut berkorelasi erat dengan umur wanita saat mengandung. Semakin tua usia ibu saat mengandung maka semakin besar kemungkinan untuk mendapatkan anak yang menderita sindrom down. Hal ini terjadi karena saat mengandung kadang-kadang sel telur kondisinya kurang baik sehingga saat dibuahi oleh sel sperma laki-laki maka pada sel benih akan terjadi pembelahan yang kurang sempurna, terjadilah kelebihan kromosom 21. Kesalahan penggandaan tersebut menyebabkan munculnya keterlambatan mental (mental retardation) yang merupakan ciri utama penderita sindrom down (Santosa, 2000).
Pada tahun 1990, Epstein mempostulasikan beberapa penyebab kelebihan kromosom 21 non-disjunction ini, yaitu (Eipstein, 1995):
1. Penuaan sel telur wanita (aging of ova), bahwa ada pengaruh intrinsik maupun ekstrinsik (Iingkungan) dalam sel induk, yang menyebabkan pembelahan selama fase meiosis menjadi non-disjunction disebabkan oleh faktor-faktor terputusnya benang-benang spindel atau komponen-komponennya, atau kegagalan dalam pemisahan nukleolus.
2.   Keterlambatan pembuahan (delayed fertilization), bahwa akibat penurunan frekuensi bersenggama pada pasangan tua dan mungkin juga pada ibu-ibu yang sangat muda telah meningkatkan kejadian keterlambatan pembuahan dimana saat itu terjadi penuaan ovum pada meiosis II setelah ovulasi.
3. Penuaan sel spermatosoa laki-laki (aging of sperm), bahwa pematangan sperma dalam alat reproduksi pria yang berhubungan dengan bersenggama infrekuen, berperan dalam efek ekstra kromosom 21 yang berasal dari ayah
 
                                                            Triplikasi Kromosom 21

                                    Kurva Maternal Age terhadap Kasus Sindrom Down




C.   PATOFISIOLOGI
Sesuai dengan etiologi diatas bahwa sindrom down disebabkan oleh adanya kesalahan dalam pembelahan sel embrio yang mereplikasi kromosom tambahan 21 yang disebut trisomi 21. Sel tubuh manusia terdiri dari 23 pasang kromosom. Pada saat konsepsi setiap orang tua memasok 23 pasang kromosom setelah fertilisasi sel telur. Satu setengah dari 23 pasang kromosom untuk perkembangan embrio bayi dipasok oleh sperma dari laki-laki dan setengah lainnya oleh sel telur dari perempuan. Kromosom-kromosom dari setiap orang tua menggabungkan dan mengirimkan informasi genetik yang membuat manusia mengembangkan produk unik dari gabungan genetika dari kedua orang tua tersebut. Ketika sebuah sel telur dibuahi berisi sebuah ekstra kromosom 21 hasilnya adalah sindrom down (Craig Stellpflug, 2009).
Adanya ekstra kromosom nomor 21 memberikan pengaruh pada banyak sistem organ, sehingga membentuk spektrum fenotip sindroma down yang luas, antara lain dengan adanya kromosom 21q22.3 menyebabkan keterlambatan mental, gambaran wajah khas (mongolism), anomali jari tangan, dan kelainan jantung bawaan. Selain itu adanya kromosom 21q22.1-q22.2 menyebabkan kelainan susunan saraf pusat (keterlambatan mental) dan kelainan jantung bawaan yang merupakan kandidat untuk keterlibatan dalam proses phatogenesis sindrom down (Darto Saharso, 2006). Misalnya pada bayi baru lahir kelainan dapat berupa Congenital Heart Disease (CHD). CHD tersebut dapat berupa atrial septal defect dan ventrikuler septal defect. Pada sistem pencernaan dapat ditemui kelainan berupa sumbatan pada esophagus (esophageal atresia) atau duodenum (duodenal atresia) (Gordon Atherley, 2011).




D.   TANDA DAN GEJALA
Tanda dan gejala dari sindrom down dapat bervariasi mulai dari yang tidak tampak sama sekali, tampak minimal sampai muncul tanda yang khas. Penderita dengan tanda khas sangat mudah dikenali dengan adanya penampilan fisik yang menonjol berupa bentuk kepala yang relatif kecil dari normal (microchephaly) dengan bagian anteroposterior kepala mendatar. Pada bagian wajah biasanya tampak sela hidung yang datar, mulut yang mengecil dan lidah yang menonjol keluar (macroglossia). Seringkali mata menjadi sipit dengan sudut bagian tengah membentuk lipatan (epicanthal folds). Tanda klinis pada bagian tubuh lainnya berupa tangan yang pendek termasuk ruas jari-jarinya serta jarak antara jari pertama dan kedua baik pada tangan maupun kaki melebar. Karena ciri-ciri yang tampak aneh seperti tinggi badan yang relatif pendek, kepala mengecil, hidung yang datar menyerupai orang mongolia maka sering juga dikenal dengan mongoloid. Sementara itu lapisan kulit biasanya tampak keriput (dermatoglyphics) (Herry, 2009).
Selain itu anak dengan sindrom down akan mengalami keterlambatan perkembangan mental dan sosialnya. Ciri-cirinya antara lain: keterbatasan intelektual, keterlambatan kemampuan bahasa, lemah dalam mempelajari sesuatu, rentang perhatian pendek, perilaku impulsive, mudah depresi, dan keterbatasan dalam pergaulan (Gordon Atherley, 2011).

                                               Karakteristik Orang dengan Sindrom Down



E.   TEMUAN SELULER DAN MOLEKULER PADA SINDROM DOWN

            1. Temuan Seluler pada Sindrom Down
Semua penderita sindrom down memiliki jumlah kromosom yang berbeda seperti kromosom pada orang normal. Orang normal mempunyai jumlah kromosom sebanyak 46 sedangkan pada penderita sindrom down ada 47 kromosom. Hal ini karena ada kelebihan kromosom pada kromosom 21 sehingga jumlah kromosom 21 menjadi 3. Alasan tersebutlah yang mengatakan bahwa sindrom down disebut juga sebagai trisomi 21. Adanya kelebihan satu salinan kromosom 21 dalam genom tersebut dapat berupa kromosom bebas (trisomi 21 murni), bagian dari fusi translokasi Robertsonian (fusi kromosom 21 dengan kromosom akrosentrik lain), ataupun dalam jumlah yang sedikit: sebagai bagian dari translokasi resiprokal (timbal balik dengan kromosom lain). Kelebihan kromosom 21 bebas ini dapat dalam bentuk mumi yaitu dalam seluruh metafase atau bentuk mosaik yaitu dalam satu individu terdapat campuran 2 macam sel dengan ekstra kromosom 21 (47 kromosom) dan sel normal dengan 46 kromosom (Peter S. Harper, 2002).

                                                            Translokasi Kromosom



           

       Secara sitogenik terdapat 3 jenis kasus sindrom down atau ada 3 jenis genetik pada sindrom down,   yaitu antara lain (Craig Stellpflug, 2009 & Sultana Farad, 2004) :


a.         Trisomy 21
Jenis ini ditemukan paling banyak yaitu sekitar 95% dari kasus sindrom down. Dalam trisomy 21, yang direplikasi oleh kromosom 21 ada di setiap sel individunya. Jenis ini dimulai baik sperma atau sel telur dengan kehadiran kromosom tambahan sebelum sperma dan sel telur bersatu. Adanya 3 copy dari kromosom 21 inilah sehingga disebut sebagai trysomi 21.
b.         Mosaic trisomy 21
Jenis ini ditemukan sekitar 2-4% dari kasus sindrom down. Dalam mosaic trisomy 21 kromosom 21 tambahan nampak di beberapa tapi tidak dalam semua sel individu. Sel sperma dan telur membawa kromosom dengan jumlah yang benar tetapi ada kesalahan yang terjadi saat pembagian kromosom pada perkembangan embrio. Hanya sel-sel yang terkena dampak 47 kromosom bukan 46 kromosom normal yang akan menunjukkan ciri-ciri sindrom down.
c.         Translocation trisomy 21
Jenis ini terjadi 3-4% kasus sindrom down. Dalam kejadian ini baik sebelum konsepsi atau saat konsepsi, bahan dari satu kromosom 21 menjadi tertranslokasi atau terjebak ke kromosom 21 yang lainnya. Sel-sel dari individu ini akan memiliki 46 kromosom tapi masih membawa ciri-ciri yang berhubungan dengan sindrom down karena adanya bahan tambahan tersebut.

Dari ketiga jenis tersebut dapat berisi "parsial trisomi p atau q" yang berarti bahwa anak hanya memiliki sebagian dari satu atau sebagian lain dari kromosom tambahan. Lengan kromosom “p” menjadi potongan lebih pendek dan lengan "q" menjadi potongan yang lebih panjang pada kromosom
 
            2. Temuan Molekuler pada Sindrom Down
Kromosom 21 merupakan kromosom yang pertama kali DNA nya dapat di sekuens. Pada analisis molekuier, DNA kromosom 21 menunjukan kromosom yang mempunyai sedikit gen-gen, hal ini yang merupakan salah satu alasan mengapa trisomi 21 dapat bertahan hidup. Lokasi gen yang berhubungan dengan gejala klinik sindrom down diduga pada 21q22.3 lebih kurang 5Mb di antara 21S58-52 (Rimoin & Connor, 2002).
Sejak ditemukan lokus gen yang berhubungan dengan sindrom down, di beberapa pusat kesehatan dinegara-negara telah berkembang, untuk deteksi sindrom down pada janin dalam kandungan menggunakan analisis DNA. Karena dengan analisis DNA (PCR/polymerase chain reaction) didapat hasil lebih cepat, tidak memerlukan penanaman sel (kultur) seperti pada analisis kromosom. Pada polyacrylamide gel electrophoresis produk PCR dari lokus gen penderita sindrom down akan ditemukan 3 pita (band), sedang pada individu normal hanya dltemukan 2 pita. Di laboratorium molekuler yang telah maju produk PCR tidak lagi dianalisis dengan gel electrophoresis tetapi fragmen-fragmen DNA dianalisis pada mesin automated sequencer (ABl31 00), sehingga didapat hasil lebih tepat dan akan diperoleh dalam tempo 24 jam berupa grafik dari penderita sindrom down yang menunjukkan puncak grafik yang lebih tinggi bila dibanding individu normal (Sultana Farad, 2004).
Penelitian oleh Arron '' et al.'' menunjukkan bahwa beberapa fenotipe yang terkait dengan sindrom down dapat berhubungan dengan disregulation faktor-faktor transkripsi dan khususnya NFAT. NFAT dikendalikan sebagian oleh dua protein yaitu DSCR1 (Down Syndrome Critical Region 1) dan DYRK1A (dual-specificity tyrosine phosphorylation-regulated kinase 1A) yang terletak di kromosom 21. Pada orang dengan sindrom down, protein ini memiliki konsentrasi 1,5 kali lebih daripada normal. Kenaikan tingkat DSCR1 dan DYRK1A mencegah NFATc untuk mengaktifkan transkripsi gen target dan dengan demikian akan memproduksi protein tertentu. DSCR1 berkaitan dengan otak dan jantung sehingga berpengaruh pada retardasi mental dan kerusakan jantung. Sama halnya dengan DYRK1A berkaitan dengan terjadinya retardasi mental pada kasus sindrom down (Eipstein, 1995).
Kajian molekuler pada kasus sindrom down juga bisa dilihat pada Ibu hamil yang beresiko untuk terjadinya sindrom down pada bayinya. Ada beberapa penelitian yang mengatakan bahwa perubahan metabolism folat dan methyl pada Ibu dapat menjadi faktor resiko sindrom down pada bayi yang dilahirkan. Gen yang terlibat dalam metabolisme folat Ibu hamil telah dihipotesiskan menjadi kandidat gen yang terlibat dalam peningkatan rata-rata kejadian non-disjunction. Hal ini ditunjukkan bahwa 677C-T polymorphism dalam gen Methylenetetrahydrofolate Reductase (MTHFR) meningkatkan resiko bayi lahir dengan sindrom down. MTHFR mengkatalis konversi 5,10-methylenetetrahydrofolate, donor methyl untuk pembentukan kembali methyl homosistein ke metionin. Mutasi gen MTHFR (677CàT) menyebabkan percabangan alanin ke valin dalam protein MTHFR dan mengurangi aktivitas enzim. Aktivitas MTHFR dikurangi menjadi 37% untuk heterozigot genotype C/T dan 70% dengan homozigot genotype T/T untuk normal genotype C/C. Para peneliti berasumsi bahwa dengan status folat rendah baik karena faktor makanan atau genetik, bisa menyebabkan hypomethylation DNA centromeric dan perubahan dalam struktur kromatin yang mempengaruhi interaksi DNA-protein yang diperlukan untuk kohesi centromeric dan segregasi meiosis normal (James, 2004).
Salma Mohammed (2010) menuliskan dalam disertasinya bahwa adanya mutasi pada gen yang dikode oleh inti sel dapat beresiko terjadinya sindrom down. Mekanisme meiosis melibatkan 3 proses yang spesifik yaitu: pasangan dan sinapsis homolog kromosom; rekombinasi meiosis resiprokal (crossover); dan aturan sister chromatid cohesion (SCC). Beberapa mutasi yang mengendalikan proses di atas dapat menyebabkan kesalahan dalam pembagian kromosom dan menghasilkan sel yang aneuploid. Mutasi beberapa gen yang terlibat dalam segregasi kromosom telah diidentifikasi, yang ternyata meningkatkan risiko mitosis non-disjunction dalam sel somatik seperti gen MAD2 dan BUB1.
 



F.    PENATALAKSANAAN SINDROM DOWN (PENDEKATAN TERAPI GEN)
Sindrom down tidak selalu dilakukan pre skrinning dan pre diagnosis, tetapi ketika saat lahir bayi menunjukkan sebagian atau keseluruhan tanda dari sindrom down maka dperintahkan untuk test pengujian abnormalitas genetik. Untuk mengkonfirmasi adanya anomali trisomi dokter dapat meminta tes darah dari bayi yang menumbuhkan sel-selnya dari darah. Pemeriksaan mikroskopis dari sel-sel kemudian dapat menentukan ada atau tidak adanya replikasi kromosom 21. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan antara lain (Craig Stellpflug, 2009):
           1.   Studi sitogenetik: Karyotyping penderita dan orang tua penderia (untuk konseling  genetik)
           2.   Pemeriksaan lainnya:
a.  Fluorescence In Situ Hybridization (FISH): digunakan untuk mendeteksi Trisomi 21 secara cepat, baik pada masa prenatal maupun masa neonatal.
b.  Thyroid-stimulating hormone (TSH) and Thyroxine (T4): untuk menilai fungsi kelenjar tiroid. Dilakukan segera setelah lahir dan berkala setiap tahun.
Terapi sindrom down hingga saat ini hanya dilakukan terhadap gejala yang telah muncul. Misalnya: stimulasi dini pada bayi yang sindrom down, fisioterapi, terapi wicara, terapi remedial, terapi sensori integrasi, terapi tingkah laku dan terapi alternative lainnya. Terapi konvensional semacam itu tidak akan pernah mengatasi penderitaan pasien sindroma down secara tuntas. Ketidakseimbangan gen dan ekspresinya akibat triplikasi kromosom 21 akan terus berlangsung sepanjang hidup pasien. Ketidakseimbangan tersebut akan menyebabkan kekacauan fungsi produk-produk gen yang sensitif yang kemudian muncul dalam bentuk fenotipik khas sindroma down. Terapi gen merupakan pengobatan atau pencegahan penyakit melalui transfer bahan genetik ke tubuh pasien. Studi klinis terapi gen pertama kali dilakukan pada tahun 1990. Transfer gen ke sel somatik dapat dilakukan melalui dua metode yaitu ex vivo atau in vitro (Jenie Palupi, 2007).
Melalui pendekatan ex vivo, sel diambil dari tubuh pasien, direkayasa secara genetik dan dimasukkan kembali ke tubuh pasien. Kemudian diikuti dengan reinfusi atau reimplementasi dari sel tertransduksi itu ke pasien. Penggunaan sel penderita diperlakukan adalah untuk meyakinkan tidak ada respon imun yang merugikan setelah infuse atau transplantasi. Keunggulan metode ini adalah transfer gen menjadi lebih efisien dan sel terekayasa mampu membelah dengan baik dan menghasilkan produk sasaran. Kelemahannya, yaitu memunculkan immunogenisitas sel pada pasien-pasien yang peka, biaya lebih mahal dan sel terekayasa sulit dikontrol. Sedangkan terapi gen saat ini menggunakan teknik in vivo, yaitu transfer langsung gen target ke tubuh pasien dengan menggunakan pengemban (vektor). Pengemban yang paling sering dipakai untuk mengantarkan gen asing ke tubuh pasien adalah Adenovirus. Selain itu dikembangkan juga pengemban-pengemban lain yaitu Retrovirus, Lentivirus, Adeno-associated virus, DNA telanjang (naked DNA), lipida kationik dan partikel DNA terkondensasi (Smalgik, 2000).




Transfer gen yang memanfaatkan adenovirus untuk dimasukkan dalam sel somatik penderita




                                  Metode ex-vivo dan in-vivo dalam terapi gen sindrom down


Teknologi rekayasa yang merubah gen rusak menjadi gen normal




G.   PENCEGAHAN
Sebagai seorang tenaga medis baik kedokteran, keperawatan atau bahkan ahli genetika harus memberikan beberapa penyuluhan kepada orang tua atau informasi-informasi terkait untuk mencegah terjadinya sindrom down. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya sindrom down antara lain dengan konseling genetik maupun amniosentesis pada kehamilan yang dicurigai sehingga akan sangat membantu mengurangi angka kejadian sindrom down. Saat ini dengan kemajuan Biologi Molekuler, misalnya dengan “gene targeting“ atau yang dikenal juga sebagai “homologous recombination“ sebuah gen dapat dinonaktifkan. Tidak terkecuali suatu saat nanti, gen-gen yang terdapat diujung lengan panjang kromosom 21 yang bertanggung jawab terhadap munculnya fenotipe sindrom down dapat dinonaktifkan (Soetjiningsih, 1995).



F.    DAFTAR PUSTAKA 


Atherley, G. 2011. Use of the dental hygiene interventions of scaling of teeth and root planing including curetting surrounding tissue, orthodontic and restorative practices, and other invasive interventions for persons with Down syndrome. College of Dental Hygienists of Ontario.



Epstein CJ. 1995. Down syndrome (Trisomy 21). In Scriver CR, Beaudet AL, Sly WS,Valle D, editors. The metabolic and motecular basic of inherited disease. New York: Mc Graw Hill, 749-81.

Farad, S. 2004. Retardasi Mental Pendekatan Seluler dan Molekuler. Semarang : FK Undip.

Harper PS. 2002. Practical Genetic Counselling 3rd ed. Oxford: Butterworth Heinemann.

James, S. J. 2004. Maternal metabolic phenotype and risk of Down syndrome: beyond genetics. Am J Med Genet A 127A(1): 1-4.

Mohammed, S. 2010. Down Syndrome in Oman: Etiology, Prevalence and Potential Risk Factors. A Cytogenetic, Molecular Genetic and Epidemiological Study. Berlin: Department of Biology, Chemistry and Pharmacy Of Freie Universität Berlin.

Palupi, J. 2007. Down Syndrome dan Terapi Gen. Surabaya: FK Unair.

Rimoin OL & Connor JM. 2002. Principles and Practice of Medical Genetics. volume 1-2. Edinburgh, Churchill livingstone.


Smaglik, P. 2000. Gene Therapy Institute Denies That Errors Led To Trial Death. Nature 403(6772):820.

Soetjiningsih. 1995. Tumbuh kembang Anak. Cetakan I. Jakarta: EGC

Stellpflug, C. 2009. Down Syndrome Facts. Things about the child with Down Syndrome that every parent should know. Published 2009. Diakses tanggal 7 Mei 2012. URL :




NUMPANG SHARE:

Berita gembira untuk para pengguna android, saat ini android menyediakan aplikasi whaff di google play. Apakah aplikasi Whaff rewards tersebut? aplikasi tersebut adalah aplikasi yang dapat memberikan recehan dollar bagi pengguna aplikasi terserbut. Kenapa tidak..ketika kita menginstal aplikasi tersebut aja dengan login dan memasukan kode kunci untuk start aplikasi kita sudah mendapatkan 0.30$. Recehan dollar akan kita dapat kembali jika kita mendownload dan menginstal games atau aplikasi yang tersedia di whaff tersebut dengan besaran yang diperoleh sekitar 0.05$. semakin banyak mendownload aplikasi dan memainkan aplikasi yang disediakan di whaff tersebut, recehan dollar akan semakin terkumpul. Dollar tersebut dapat diuangkan melalui sistem Paypal. Proses penguangan menggunakan paypal sangat mudah, bisa anda cari di internet. Cara mendownload dan menginstal aplikasi whaff adalah sebagai berikut:

1.Klik Play Store
2.Search Whaff Reward
3.Download 
4.Login Via Facebook
5.Setelah Login Akan Di Suruh Masukin Kode, Masukin kode BS75512 Maka Akan Mendapatkan Bonus 0.30$
6.Download Applikasi Yang Tersedia Di Whaff, Setiap Aplikasi Dihargai "$" Berbeda Beda
7.Kumpulkan MINIMAL PAYOUT 10$ baru bisa diuangkan lewat paypal

Cobalah tidak akan merugi

1 comment:

  1. Lucky Club Casino Site Review | Casino site reviews
    Lucky Club Casino is rated 4.5 out of 5 by our members and 33% of them said: "lucky club" and "lucky club". Rating: 4.5 · ‎Review by LuckyClub.live · ‎Price range: luckyclub

    ReplyDelete

Contact Us

Name

Email *

Message *