Cari Blog Ini

Monday, 27 October 2014

Penggunaan Pre Hospital EKG

Penggunaan Pre Hospital EKG

(Sumber Gambar: http://www.ecvv.com/)

Analisis Jurnal : “ Peningkatan Penggunaan Pre Hospital EKG 12 Lead untuk Identifikasi dan Penatalaksanaan Awal SKA & STEMI”
Pengarang: Denis, D et al tahun 2010

Disusun oleh: Dody Setyawan

Tingginya tingkat kematian pasien karena STEMI (ST Elevasi Miokard Infark) menjadi fokus permasalahan yang harus segera ditangani. Penanganan segera yang bisa dilakukan adalah dengan tindakan reperfusi dengan pemberian trombolisis ataupun PCI (Percutaneous Coronary Intervention) sesuai pedoman onset waktu yang telah ditetapkan. Efektivitas terapi reperfusi ini sangat tergantung pada waktu. American College of Cardiology/American Heart Association (ACC/AHA) guidelines merekomendasikan bahwa PCI diberikan pada pasien dengan jarak waktu dari onset awal ≤ 90 menit untuk door to balloon. Tapi kenyataannya hanya 54-58% yang tepat waktu sesuai pedoman tersebut. Hal ini berkaitan dengan efek keterlambatan terapi reperfusi segera terhadap kejadian infark jantung yang semakin meluas yang akhirnya bisa terjadi infark transmural. Oklusi yang tidak segera ditangani akan menetap dan akhirnya suplai oksigen ke miokard akan terhenti, sehingga dengan berhentinya suplai oksigen tersebut akan sangat berpengaruh pada aktivitas jantung itu sendiri seperti terganggunya kontraktilitas miokard, gangguan konduksi kelistrikan jantung, cardiac output turun yang nantinya akan mempengaruhi penurunan perfusi sistemik. Hal inilah yang menyebabkan angka kematian pasien dengan STEMI tergolong tinggi.

AHA guidelines merekomendasikan bahwa pre hospital EKG (PH-EKG) bisa dilakukan pada pasien yang dicurigai Acute Coronary Syndrome (ACS) dan aspirin dapat diberikan langsung pada mereka yang dicurigai STEMI. Ketika rumah sakit menggunakan hasil PH-EKG untuk aktivasi laboratorium kateterisasi jantung, sementara pasien masih dalam perjalanan, waktu door to balloon akan lebih pendek daripada jika aktivasi dimulai di IGD saat pasien datang. Akan tetapi pada kenyataannya PH-EKG baru dilakukan 8-27% pada pasien STEMI. Pada sistem kegawatdaruratan yang terbaru untuk pasien dengan ACS akan ditingkatkan kemampuan paramedic untuk interprestasi PH-EKG untuk identifikasi STEMI sebelum sampai ke rumah sakit. Sehingga tindakan ini bisa langsung mengarahkan bahwa pasien akan langsung dibawa ke rumah sakit yang menyediakan PCI yang nantinya waktu untuk reperfusi akan tepat. Hal ini yang menarik peneliti dalam jurnal ini untuk melakukan penelitian yang bertujuan meningkatkan perkembangan dengan evidence based practiced dalam perawatan pre-hospital pasien dengan kemungkinan ACS dan STEMI, termasuk tindakan PH-EKG dan interprestasinya serta pemberian aspirin dengan menyediakan Emergency Medical System disertai feedback langkah-langkah tindakan dan dukungan peningkatan kualitas tindakan. Tujuan yang kedua yaitu untuk mengevaluasi faktor yang berhubungan dengan PH-EKG tidak dilakukan, sensitivitas diagnosa paramedic untuk STEMI, dan dampak pengembangan PH-EKG untuk door to balloon time.

Penelitian ini menggunakan desain quasi eksperiment pre post test design dengan uji coba pendekatan untuk meningkatkan emergency medical services (EMS) PH-EKG dengan menggunakan laporan feedback dan peningkatan kualitas intervensi dalam 2 agen EMS kota dan rumah sakit cadangan. Intervensi yang diberikan dalam penelitian ini digunakan untuk menangani hasil pengukuran kinerja yang telah dilakukan. Intervensinya antara lain pendidikan tentang indikasi untuk PH-EKG, pendidikan untuk pemecahan masalah budaya dan bahasa terkait hambatan komunikasi, fokus pada pendidikan interprestasi EKG, resolusi untuk permasalahan teknis perlengkapan EKG, membentuk peran paramedic dalam mengidentifikasi pasien dengan STEMI untuk prenotifikasi di ruang emergency atau aktivasi laboratorium kateterisasi jantung. Kategori akhir yang diukur meliputi kinerja tindakan PH-EKG, dokumentasi interprestasi EKG, dan pemberian aspirin pada fase prehospital untu pasien dengan kemungkinan ACS.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa feedback dan peningkatan kualitas tindakan meningkatkan PH-EKG pada pasien dengan ACS dari 76% menjadi 93% dan pasien dengan STEMI dari 77% menjadi 99%, dokumentasi interprestasi EKG naik dari 84% menjadi 95%, pemberian aspirin prehospital meningkat dari 75%-82%, tetapi median total waktu EMS tetap sama di 22 menit. Total proporsi waktu door to balloon ≤ 90 menit meningkat dari 27% sampai 67%. Faktor yang berhubungan dengan tidak dilakukannya PH-EKG adalah karena perbedaan jenis kelamin pasien dan hambatan dalam komunikasi.

Penggunaan interpretasi PH-ECG untuk memicu aktivasi laboratorium kateterisasi jantung selama pasien masih dalam perjalanan adalah satu dari beberapa strategi sukses untuk mengurangi waktu door to balloon. Penggunaan EMS dengan PH-EKG dan Quality Improvement ini dapat mengidentifikasi awal STEMI sehingga bisa langsung mengarahkan ke rumah sakit mana yang akan dituju yang menyediakan pelayanan PCI sehingga akan memperpendek waktu door to balloon. Peningkatan kualitas pelayanan prehospital EKG pada pasien ACS dan STEMI harus ditingkatkan terutama dalam waktu yang dibutuhkan untuk transfer pasien sehingga komunikasi yang cepat dan tepat antar provider sangat diperlukan untuk mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk melakukan tindakan segera pada pasien dan meminimalkan komplikasi.

(Sumber Gambar: http://www.health.vic.gov.au/)

PEMBAHASAN
Trombolitik ataupun primary PCI digunakan untuk terapi reperfusi pada klien yang mengalami miokard infark karena oklusi pada koroner jika onset waktunya < 12 jam. Oklusi ini disebabkan karena adanya aterosklerosis pada klien. Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian aterosklerosis, seperti halnya kebiasaan klien yang jarang olahraga, suka merokok serta kebiasaan minum kopi akan memicu tingginya kadar kolesterol dan LDL. LDL merupakan lemak jahat yang menempel pada pembuluh darah dan menyebabkan penimbunan lemak yang nantinya akan berlanjut menjadi aterosklerosis. Plak aterosklerosis rentan terhadap terjadinya ruptur karena inti lipid besar, fibrous cups tipis, dan plak penuh dengan aktivitas sel-sel inflamasi seperti limfosit T dan lain sebagainya sehingga akan mengeluarkan zat vasoaktif (kolagen, inti lipid, makrofag dan faktor jaringan) ke dalam aliran darah, merangsang agregasi dan adesi trombosit serta pembentukan fibrin, membentuk trombus atau proses trombosis (Depkes RI, 2006). Thrombus yang terbentuk tersebut akan menyebabkan oklusi koroner total yang menetap dan jika tidak dikompensasi oleh kolateral maka keseluruhan lapisan miokard mengalami nekrosis (Q-wave infarction) sehingga dikenal juga dengan STEMI. Trombus yang terbentuk bersifat stabil dan persisten yang menyebabkan perfusi miokard terhenti secara tiba-tiba yang berlangsung lebih dari 1 jam dan menyebabkan nekrosis miokard transmural. Dengan adanya nekrosis sel-sel miokard tersebut maka akan terjadi pelepasan biomarker seperti enzim CK-MB dan troponin T/I.

Misalnya gambaran EKG pada saat pasien datang di IGD sudah menunjukkan adanya gambaran recet STEMI inferior dimana dalam gambaran tersebut terdapat ST elevasi di lead II, III, dan avf disertai dengan adanya T inverted di lead III dan avf. Hal ini menunjukkan bahwa oklusi yang menyebabkan infark miokard tersebut onsetnya sudah lama melewati waktu golden period (> 12 jam) walaupun terkadang hasil interview dari pasien dan keluarganya bahwa waktu dari saat pasien merasakan nyeri sampai datang ke IGD adalah < 12 jam, tetapi interview terhadap pasien dan keluarga bisa bersifat subyektif. Kemungkinan pasien awalnya sudah merasakan nyeri dada tetapi tidak seberat sekarang yang membuat pasien menunda untuk segera diperiksakan ke RS. Sehingga dalam hal ini gambaran EKG dapat digunakan sebagai akurasi onset waktu yang menunjukkan kondisi infarknya.

Gambaran EKG pasien yang menunjukkan recent STEMI, maka pasien tidak dilakukan pemberian terapi trombolitik walaupun tanpa kontraindikasi atau dilakukan primary PCI. Keterlambatan pasien untuk reperfusi segera salah satunya bisa disebabkan oleh lamanya akses jarak dari rumah sampai ke rumah sakit. Sehingga dalam jurnal diatas menawarkan strategi untuk mencegah luasnya infark miokard dan menurunkan waktu untuk mendapatkan terapi reperfusi segera. Peningkatan tindakan yang dilakukan adalah menyediakan Pre Hospital EKG (PH-EKG) dalam Emergency Medical Service (yang salah satunya adalah pelayanan ambulance) untuk mengetahui gambaran kondisi jantung pasien yang dicurigai SKA dan langsung memberikan aspirin pada mereka yang dicurigai STEMI. Sehingga hal ini akan sangat bermanfaat, ketika hasil gambaran EKGnya sudah ada dan menunjukkan adanya infark akut yang menandakan oklusi, maka bisa langsung diputuskan untuk dibawa ke Rumah Sakit yang terdapat pelayanan PCI nya. Akses pemberitahuan informasi kepada rumah sakit tersebut harus segera dilakukan saat perjalanan supaya Rumah Sakit sudah mempersiapkan laboratorium kateterisasi jantungnya lebih awal. Hal inilah yang sangat membantu pasien untuk mendapatkan terapi reperfusi lebih cepat dan menurunkan angka kematian pasien. Sedangkan untuk mencegah luasnya infark bisa diberikan terapi antiplatelet dengan pemberian aspirin langsung dalam perjalanan menuju RS ketika gambaran PH-EKG sudah menunjukkan adanya STEMI akut.

Tindakan-tindakan tersebut merupakan suatu bentuk kebijakan dari masing-masing pemerintahan. Di Indonesia sendiri pengaktifan sistem tersebut belum ditemui. Mobil ambulance yang ada di Indonesia saat ini didalamnya hanya ada paramedic yang terlatih dan alat-alat yang mendukung bantuan hidup dasar. Sehingga implikasi keperawatannya bahwa sebagai perawat baik dalam pelayanan maupun managerial berintegrasi dengan disiplin ilmu yang lainnya terkait hal tersebut berusaha menyusun peningkatan kebijakan terhadap sistem pelayanan kesehatan terutama dalam Emergency Medical Service (EMS), seperti peningkatan akses cepat informasi dan akses cepat pendaftaran perawatan pasien jantung, melengkapi transportasi EMS seperti ambulance dengan alat EKG dan obat aspirin maupun antiplatelet yang lain, pemberian pelatihan khusus bagi perawat terlatih dalam bidang emergency life support termasuk spesifikasi cardiac life support, kecanggihan dan ketersediaan alat untuk melakukan PCI di beberapa rumah sakit, pelatihan bagi tim medis untuk mampu door to needle di beberapa daerah yang belum ada PCI nya, dan lain-lain terkait peningkatan mutu pelayanan emergency.


DAFTAR PUSTAKA

Daudeline Denise et al. 2010. Improving Use of Prehospital 12-Lead ECG for Early Identification and Treatment of Acute Coronary Syndrome and ST-Elevation Myocardial Infarction. Whasington St: American Heart Association, Inc. Circ Cardiovasc Qual Outcomes
Dennis, B., &  Vinay, K. 2007. Jantung. Alih Bahasa: Hartanto Huriawati, Darminiah Nurwani, Wulandari Nanda, 2007. Buku Ajar Patologi; Robbins (Edisi 7), Jakarta: EGC.
Depkes RI. 2006. Pharmaceutical Care Untuk Pasien Penyakit Jantung Koroner Fokus Sindrom Koroner Akut. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. Ditjen Bina kefarmasian dan Alat Kesehatan.

Leeper, B. 2004. Nursing Outcomes Percutaneous Coronary Intervention. Journal of Cardiovascular Nursing Vol. 19, No, 5, pp 345-353: Lippincott Williams & Wilkins, Inc.

Lyrawati, D. 2008. Sindrom Koroner Akut-Farmakologi. Terjemahan Gary Fletcher 2007.

McDermott, Kelly et al. 2008. A Review of Interventions and System Changes to Improve Time to Reperfusion for ST-Segment Elevation Myocardial Infarction. Society of General Internal Medicine. J Gen Intern Med 2008;23:1246–56

Overbaugh, K. J. 2009. Acute Coronary Syndrome, American Journal Nursing, 109 (5), 42 – 52.

Sudoyo, A.W et al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Hal 1615-1616. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI


NUMPANG SHARE:

Berita gembira untuk para pengguna android, saat ini android menyediakan aplikasi whaff di google play. Apakah aplikasi Whaff rewards tersebut? aplikasi tersebut adalah aplikasi yang dapat memberikan recehan dollar bagi pengguna aplikasi terserbut. Kenapa tidak..ketika kita menginstal aplikasi tersebut aja dengan login dan memasukan kode kunci untuk start aplikasi kita sudah mendapatkan 0.30$. Recehan dollar akan kita dapat kembali jika kita mendownload dan menginstal games atau aplikasi yang tersedia di whaff tersebut dengan besaran yang diperoleh sekitar 0.05$. semakin banyak mendownload aplikasi dan memainkan aplikasi yang disediakan di whaff tersebut, recehan dollar akan semakin terkumpul. Dollar tersebut dapat diuangkan melalui sistem Paypal. Proses penguangan menggunakan paypal sangat mudah, bisa anda cari di internet. Cara mendownload dan menginstal aplikasi whaff adalah sebagai berikut:

1.Klik Play Store
2.Search Whaff Reward
3.Download 
4.Login Via Facebook
5.Setelah Login Akan Di Suruh Masukin Kode, Masukin kode BS75512 Maka Akan Mendapatkan Bonus 0.30$
6.Download Applikasi Yang Tersedia Di Whaff, Setiap Aplikasi Dihargai "$" Berbeda Beda
7.Kumpulkan MINIMAL PAYOUT 10$ baru bisa diuangkan lewat paypal


Cobalah tidak akan merugi


No comments:

Post a Comment

Contact Us

Name

Email *

Message *