SINDROM DOWN
A.
DEFINISI
Sindrom Down merupakan kelainan kromosom dimana ada
kesalahan dalam pembelahan sel embrio yang mereplikasi kromosom 21 dan
dihasilkan additional chromosome 21 yang
disebut trisomi 21 dan nantinya akan menimbulkan berbagai kelainan ketika lahir.
Hal ini menyebabkan keterlambatan perkembangan seorang anak baik secara fisik
maupun mental (Craig Stellpflug, 2009).
Karotip kromosom manusia normal
B. ETIOLOGI
Sindrom down disebabkan oleh adanya kelainan
kromosom yaitu adanya additional kromosom 21 yang disebut trisomi 21. Hal ini
disebabkan karena adanya non-disjunction kromosom
21 selama proses pembelahan sel aslinya yang menghasilkan additional kromosom
21 sehingga total kromosom menjadi 47 di setiap selnya bukan 46 kromosom.
Non-disjunction
adalah peristiwa gagalnya pemisahan pasangan kromosom.
Pada sindrom down kromosom 21 memiliki 3 kembaran (copy), berbeda dengan kromosom normal
yang hanya memiliki 2 kembaran. Kesalahan penggandaan tersebut berkorelasi erat
dengan umur wanita saat mengandung. Semakin tua usia ibu saat mengandung maka
semakin besar kemungkinan untuk mendapatkan anak yang menderita sindrom down. Hal
ini terjadi karena saat mengandung kadang-kadang sel telur kondisinya kurang
baik sehingga saat dibuahi oleh sel sperma laki-laki maka pada sel benih akan terjadi
pembelahan yang kurang sempurna, terjadilah kelebihan kromosom 21. Kesalahan
penggandaan tersebut menyebabkan munculnya keterlambatan mental (mental retardation) yang merupakan ciri
utama penderita sindrom down (Santosa, 2000).
Pada tahun 1990, Epstein mempostulasikan beberapa penyebab
kelebihan kromosom 21 non-disjunction
ini, yaitu (Eipstein, 1995):
1. Penuaan
sel telur wanita (aging of ova),
bahwa ada pengaruh intrinsik maupun ekstrinsik (Iingkungan) dalam sel induk,
yang menyebabkan pembelahan selama fase meiosis menjadi non-disjunction disebabkan oleh faktor-faktor terputusnya benang-benang
spindel atau komponen-komponennya, atau kegagalan dalam pemisahan nukleolus.
2. Keterlambatan
pembuahan (delayed fertilization),
bahwa akibat penurunan frekuensi bersenggama pada pasangan tua dan mungkin juga
pada ibu-ibu yang sangat muda telah meningkatkan kejadian keterlambatan
pembuahan dimana saat itu terjadi penuaan ovum pada meiosis II setelah ovulasi.
3. Penuaan
sel spermatosoa laki-laki (aging of sperm),
bahwa pematangan sperma dalam alat reproduksi pria yang berhubungan dengan bersenggama
infrekuen, berperan dalam efek ekstra
kromosom 21 yang berasal dari ayah
Kurva Maternal Age terhadap Kasus Sindrom Down
C. PATOFISIOLOGI
Sesuai dengan etiologi diatas bahwa sindrom down
disebabkan oleh adanya kesalahan dalam pembelahan sel embrio yang mereplikasi
kromosom tambahan 21 yang disebut trisomi 21. Sel tubuh manusia terdiri dari 23
pasang kromosom. Pada saat konsepsi setiap orang tua memasok 23 pasang kromosom
setelah fertilisasi sel telur. Satu setengah dari 23 pasang kromosom untuk
perkembangan embrio bayi dipasok oleh sperma dari laki-laki dan setengah
lainnya oleh sel telur dari perempuan. Kromosom-kromosom dari setiap orang tua
menggabungkan dan mengirimkan informasi genetik yang membuat manusia
mengembangkan produk unik dari gabungan genetika dari kedua orang tua tersebut.
Ketika sebuah sel telur dibuahi berisi sebuah ekstra kromosom 21 hasilnya
adalah sindrom down (Craig Stellpflug, 2009).
Adanya ekstra kromosom nomor 21 memberikan pengaruh
pada banyak sistem organ, sehingga membentuk spektrum fenotip sindroma down
yang luas, antara lain dengan adanya kromosom 21q22.3 menyebabkan keterlambatan
mental, gambaran wajah khas (mongolism),
anomali jari tangan, dan kelainan jantung bawaan. Selain itu adanya kromosom
21q22.1-q22.2 menyebabkan kelainan susunan saraf pusat (keterlambatan mental)
dan kelainan jantung bawaan yang merupakan kandidat untuk keterlibatan dalam
proses phatogenesis sindrom down (Darto Saharso, 2006). Misalnya pada bayi baru
lahir kelainan dapat berupa Congenital
Heart Disease (CHD). CHD tersebut dapat berupa atrial septal defect dan ventrikuler
septal defect. Pada sistem pencernaan dapat ditemui kelainan berupa
sumbatan pada esophagus (esophageal
atresia) atau duodenum (duodenal
atresia) (Gordon Atherley, 2011).
D. TANDA
DAN GEJALA
Tanda dan gejala dari sindrom down dapat bervariasi
mulai dari yang tidak tampak sama sekali, tampak minimal sampai muncul tanda
yang khas. Penderita dengan tanda khas sangat mudah dikenali dengan adanya
penampilan fisik yang menonjol berupa bentuk kepala yang relatif kecil dari
normal (microchephaly) dengan bagian anteroposterior kepala mendatar. Pada
bagian wajah biasanya tampak sela hidung yang datar, mulut yang mengecil dan
lidah yang menonjol keluar (macroglossia).
Seringkali mata menjadi sipit dengan sudut bagian tengah membentuk lipatan (epicanthal folds). Tanda klinis pada bagian
tubuh lainnya berupa tangan yang pendek termasuk ruas jari-jarinya serta jarak
antara jari pertama dan kedua baik pada tangan maupun kaki melebar. Karena
ciri-ciri yang tampak aneh seperti tinggi badan yang relatif pendek, kepala
mengecil, hidung yang datar menyerupai orang mongolia maka sering juga dikenal
dengan mongoloid. Sementara itu lapisan kulit biasanya tampak keriput (dermatoglyphics) (Herry, 2009).
Selain itu anak dengan sindrom down akan mengalami
keterlambatan perkembangan mental dan sosialnya. Ciri-cirinya antara lain:
keterbatasan intelektual, keterlambatan kemampuan bahasa, lemah dalam
mempelajari sesuatu, rentang perhatian pendek, perilaku impulsive, mudah
depresi, dan keterbatasan dalam pergaulan (Gordon Atherley, 2011).
E. TEMUAN
SELULER DAN MOLEKULER PADA SINDROM DOWN
1. Temuan Seluler pada Sindrom Down
Semua penderita sindrom down memiliki jumlah
kromosom yang berbeda seperti kromosom pada orang normal. Orang normal
mempunyai jumlah kromosom sebanyak 46 sedangkan pada penderita sindrom down ada
47 kromosom. Hal ini karena ada kelebihan kromosom pada kromosom 21 sehingga jumlah
kromosom 21 menjadi 3. Alasan tersebutlah yang mengatakan bahwa sindrom down
disebut juga sebagai trisomi 21. Adanya kelebihan satu salinan kromosom 21
dalam genom tersebut dapat berupa kromosom bebas (trisomi 21 murni), bagian
dari fusi translokasi Robertsonian (fusi kromosom 21 dengan kromosom akrosentrik
lain), ataupun dalam jumlah yang sedikit: sebagai bagian dari translokasi
resiprokal (timbal balik dengan kromosom lain). Kelebihan kromosom 21 bebas ini
dapat dalam bentuk mumi yaitu dalam seluruh metafase atau bentuk mosaik yaitu
dalam satu individu terdapat campuran 2 macam sel dengan ekstra kromosom 21 (47
kromosom) dan sel normal dengan 46 kromosom (Peter S. Harper, 2002).
Translokasi Kromosom
Secara sitogenik
terdapat 3 jenis kasus sindrom down atau ada 3 jenis genetik pada sindrom down,
yaitu antara lain (Craig Stellpflug, 2009 & Sultana Farad, 2004) :
a.
Trisomy 21
Jenis ini ditemukan paling banyak
yaitu sekitar 95% dari kasus sindrom down. Dalam trisomy 21, yang direplikasi
oleh kromosom 21 ada di setiap sel individunya. Jenis ini dimulai baik sperma
atau sel telur dengan kehadiran kromosom tambahan sebelum sperma dan sel telur
bersatu. Adanya 3 copy dari kromosom
21 inilah sehingga disebut sebagai trysomi 21.
b.
Mosaic
trisomy 21
Jenis ini ditemukan sekitar 2-4%
dari kasus sindrom down. Dalam mosaic
trisomy 21 kromosom 21 tambahan nampak di beberapa tapi tidak dalam semua sel
individu. Sel sperma dan telur membawa kromosom dengan jumlah yang benar tetapi
ada kesalahan yang terjadi saat pembagian kromosom pada perkembangan embrio.
Hanya sel-sel yang terkena dampak 47 kromosom bukan 46 kromosom normal yang akan
menunjukkan ciri-ciri sindrom down.
c.
Translocation
trisomy 21
Jenis ini terjadi 3-4% kasus
sindrom down. Dalam kejadian ini baik sebelum konsepsi atau saat konsepsi,
bahan dari satu kromosom 21 menjadi tertranslokasi atau terjebak ke kromosom 21
yang lainnya. Sel-sel dari individu ini akan memiliki 46 kromosom tapi masih
membawa ciri-ciri yang berhubungan dengan sindrom down karena adanya bahan
tambahan tersebut.
Dari
ketiga jenis tersebut dapat berisi "parsial trisomi p atau q" yang
berarti bahwa anak hanya memiliki sebagian dari satu atau sebagian lain dari
kromosom tambahan. Lengan kromosom “p” menjadi potongan lebih pendek dan lengan
"q" menjadi potongan yang lebih panjang pada kromosom
2. Temuan Molekuler pada Sindrom Down
Kromosom 21 merupakan kromosom yang pertama kali DNA
nya dapat di sekuens. Pada analisis molekuier, DNA kromosom 21 menunjukan
kromosom yang mempunyai sedikit gen-gen, hal ini yang merupakan salah satu alasan
mengapa trisomi 21 dapat bertahan hidup. Lokasi gen yang berhubungan dengan
gejala klinik sindrom down diduga pada 21q22.3 lebih kurang 5Mb di antara 21S58-52
(Rimoin & Connor, 2002).
Sejak ditemukan lokus gen yang berhubungan dengan
sindrom down, di beberapa pusat kesehatan dinegara-negara telah berkembang,
untuk deteksi sindrom down pada janin dalam kandungan menggunakan analisis DNA.
Karena dengan analisis DNA (PCR/polymerase chain reaction)
didapat hasil lebih cepat, tidak memerlukan penanaman sel (kultur) seperti pada
analisis kromosom. Pada polyacrylamide
gel electrophoresis produk PCR dari lokus gen penderita sindrom down akan
ditemukan 3 pita (band), sedang pada individu normal hanya dltemukan 2 pita. Di
laboratorium molekuler yang telah maju produk PCR tidak lagi dianalisis dengan gel electrophoresis tetapi fragmen-fragmen
DNA dianalisis pada mesin automated
sequencer (ABl31 00), sehingga didapat hasil lebih tepat dan akan diperoleh
dalam tempo 24 jam berupa grafik dari penderita sindrom down yang menunjukkan puncak
grafik yang lebih tinggi bila dibanding individu normal (Sultana Farad, 2004).
Penelitian oleh Arron '' et al.'' menunjukkan bahwa
beberapa fenotipe yang terkait dengan sindrom down dapat berhubungan dengan
disregulation faktor-faktor transkripsi dan khususnya NFAT. NFAT dikendalikan
sebagian oleh dua protein yaitu DSCR1 (Down
Syndrome Critical Region 1) dan DYRK1A (dual-specificity
tyrosine phosphorylation-regulated kinase 1A) yang terletak di kromosom 21.
Pada orang dengan sindrom down, protein ini memiliki konsentrasi 1,5 kali lebih
daripada normal. Kenaikan tingkat DSCR1 dan DYRK1A mencegah NFATc untuk
mengaktifkan transkripsi gen target dan dengan demikian akan memproduksi
protein tertentu. DSCR1 berkaitan dengan otak dan jantung sehingga berpengaruh
pada retardasi mental dan kerusakan jantung. Sama halnya dengan DYRK1A
berkaitan dengan terjadinya retardasi mental pada kasus sindrom down (Eipstein,
1995).
Kajian molekuler pada kasus sindrom down juga bisa
dilihat pada Ibu hamil yang beresiko untuk terjadinya sindrom down pada
bayinya. Ada beberapa penelitian yang mengatakan bahwa perubahan metabolism
folat dan methyl pada Ibu dapat menjadi faktor resiko sindrom down pada bayi
yang dilahirkan. Gen yang terlibat dalam metabolisme folat Ibu hamil telah
dihipotesiskan menjadi kandidat gen yang terlibat dalam peningkatan rata-rata
kejadian non-disjunction. Hal ini
ditunjukkan bahwa 677C-T polymorphism dalam
gen Methylenetetrahydrofolate Reductase (MTHFR) meningkatkan resiko bayi lahir dengan
sindrom down. MTHFR mengkatalis konversi 5,10-methylenetetrahydrofolate, donor methyl untuk pembentukan kembali
methyl homosistein ke metionin. Mutasi gen MTHFR (677CàT) menyebabkan percabangan alanin ke
valin dalam protein MTHFR dan mengurangi aktivitas enzim. Aktivitas MTHFR
dikurangi menjadi 37% untuk heterozigot genotype C/T dan 70% dengan homozigot
genotype T/T untuk normal genotype C/C. Para peneliti berasumsi bahwa dengan status
folat rendah baik karena faktor makanan atau genetik, bisa menyebabkan hypomethylation DNA centromeric dan perubahan dalam struktur kromatin yang mempengaruhi
interaksi DNA-protein yang diperlukan untuk kohesi centromeric dan segregasi meiosis normal (James, 2004).
Salma Mohammed (2010) menuliskan dalam disertasinya
bahwa adanya mutasi pada gen yang dikode oleh inti sel dapat beresiko
terjadinya sindrom down. Mekanisme meiosis melibatkan 3 proses yang spesifik
yaitu: pasangan dan sinapsis homolog kromosom; rekombinasi meiosis resiprokal (crossover); dan aturan sister chromatid cohesion (SCC). Beberapa
mutasi yang mengendalikan proses di atas dapat menyebabkan kesalahan dalam pembagian
kromosom dan menghasilkan sel yang aneuploid.
Mutasi beberapa gen yang terlibat dalam segregasi kromosom telah
diidentifikasi, yang ternyata meningkatkan risiko mitosis non-disjunction dalam sel somatik seperti gen MAD2 dan BUB1.
F. PENATALAKSANAAN
SINDROM DOWN (PENDEKATAN TERAPI GEN)
Sindrom down tidak selalu dilakukan pre skrinning dan pre diagnosis, tetapi ketika saat lahir bayi menunjukkan sebagian
atau keseluruhan tanda dari sindrom down maka dperintahkan untuk test pengujian
abnormalitas genetik. Untuk mengkonfirmasi adanya anomali trisomi dokter dapat
meminta tes darah dari bayi yang menumbuhkan sel-selnya dari darah. Pemeriksaan
mikroskopis dari sel-sel kemudian dapat menentukan ada atau tidak adanya
replikasi kromosom 21. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan antara
lain (Craig Stellpflug, 2009):
1. Studi sitogenetik: Karyotyping penderita dan orang tua penderia (untuk konseling genetik)
2. Pemeriksaan lainnya:
a. Fluorescence In Situ Hybridization
(FISH): digunakan untuk mendeteksi Trisomi 21 secara
cepat, baik pada masa prenatal maupun masa neonatal.
b. Thyroid-stimulating hormone (TSH)
and Thyroxine (T4): untuk menilai fungsi kelenjar tiroid.
Dilakukan segera setelah lahir dan berkala setiap tahun.
Terapi sindrom down hingga saat ini hanya dilakukan
terhadap gejala yang telah muncul. Misalnya: stimulasi dini pada bayi yang
sindrom down, fisioterapi, terapi wicara, terapi remedial, terapi sensori
integrasi, terapi tingkah laku dan terapi alternative lainnya. Terapi konvensional
semacam itu tidak akan pernah mengatasi penderitaan pasien sindroma down secara
tuntas. Ketidakseimbangan gen dan ekspresinya akibat triplikasi kromosom 21
akan terus berlangsung sepanjang hidup pasien. Ketidakseimbangan tersebut akan
menyebabkan kekacauan fungsi produk-produk gen yang sensitif yang kemudian
muncul dalam bentuk fenotipik khas sindroma down. Terapi gen merupakan
pengobatan atau pencegahan penyakit melalui transfer bahan genetik ke tubuh
pasien. Studi klinis terapi gen pertama kali dilakukan pada tahun 1990. Transfer
gen ke sel somatik dapat dilakukan melalui dua metode yaitu ex vivo atau in vitro (Jenie Palupi, 2007).
Melalui pendekatan ex vivo, sel diambil dari tubuh pasien, direkayasa secara genetik
dan dimasukkan kembali ke tubuh pasien. Kemudian diikuti dengan reinfusi atau
reimplementasi dari sel tertransduksi itu ke pasien. Penggunaan sel penderita
diperlakukan adalah untuk meyakinkan tidak ada respon imun yang merugikan
setelah infuse atau transplantasi. Keunggulan metode ini adalah transfer gen
menjadi lebih efisien dan sel terekayasa mampu membelah dengan baik dan
menghasilkan produk sasaran. Kelemahannya, yaitu memunculkan immunogenisitas
sel pada pasien-pasien yang peka, biaya lebih mahal dan sel terekayasa sulit
dikontrol. Sedangkan terapi gen saat ini menggunakan teknik in vivo, yaitu transfer langsung gen
target ke tubuh pasien dengan menggunakan pengemban (vektor). Pengemban yang
paling sering dipakai untuk mengantarkan gen asing ke tubuh pasien adalah Adenovirus. Selain itu dikembangkan juga
pengemban-pengemban lain yaitu Retrovirus,
Lentivirus, Adeno-associated virus, DNA telanjang (naked DNA), lipida kationik dan partikel DNA terkondensasi (Smalgik,
2000).
Transfer gen yang memanfaatkan adenovirus untuk
dimasukkan dalam sel somatik penderita
Metode ex-vivo dan in-vivo dalam terapi gen sindrom down
Teknologi rekayasa yang merubah gen
rusak menjadi gen normal
G. PENCEGAHAN
Sebagai seorang tenaga medis baik kedokteran,
keperawatan atau bahkan ahli genetika harus memberikan beberapa penyuluhan
kepada orang tua atau informasi-informasi terkait untuk mencegah terjadinya
sindrom down. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya
sindrom down antara lain dengan konseling genetik maupun amniosentesis pada
kehamilan yang dicurigai sehingga akan sangat membantu mengurangi angka
kejadian sindrom down. Saat ini dengan kemajuan Biologi Molekuler, misalnya
dengan “gene targeting“ atau yang
dikenal juga sebagai “homologous
recombination“ sebuah gen dapat dinonaktifkan. Tidak terkecuali suatu saat
nanti, gen-gen yang terdapat diujung lengan panjang kromosom 21 yang
bertanggung jawab terhadap munculnya fenotipe sindrom down dapat dinonaktifkan
(Soetjiningsih, 1995).
F. DAFTAR PUSTAKA
Atherley, G. 2011. Use of the
dental hygiene interventions of scaling of teeth and root planing including
curetting surrounding tissue, orthodontic and restorative practices, and other
invasive interventions for persons with Down syndrome. College of Dental Hygienists of
Ontario.
Epstein CJ. 1995.
Down syndrome (Trisomy 21). In Scriver
CR, Beaudet AL, Sly WS,Valle D, editors. The metabolic and motecular basic of
inherited disease. New York: Mc Graw Hill, 749-81.
Farad, S. 2004. Retardasi Mental Pendekatan Seluler dan
Molekuler. Semarang : FK Undip.
Harper PS. 2002. Practical Genetic Counselling 3rd ed.
Oxford: Butterworth
Heinemann.
James, S. J. 2004. Maternal
metabolic phenotype and risk of Down syndrome: beyond genetics. Am J Med Genet A 127A(1): 1-4.
Mohammed, S. 2010. Down Syndrome in Oman: Etiology, Prevalence and Potential Risk Factors.
A Cytogenetic, Molecular Genetic and Epidemiological Study. Berlin:
Department of Biology, Chemistry and Pharmacy Of Freie Universität Berlin.
Palupi, J. 2007.
Down Syndrome dan
Terapi Gen. Surabaya:
FK Unair.
Rimoin OL & Connor
JM. 2002. Principles and Practice of
Medical Genetics. volume 1-2. Edinburgh, Churchill livingstone.
Saharso, D. 2006.
Sindroma Down. Surabaya: openurika URL
: http://www.pediatrik.com/isi03.php?page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=061214-irky208.htm
Smaglik, P. 2000. Gene Therapy Institute Denies That Errors
Led To Trial Death.
Nature 403(6772):820.
Soetjiningsih.
1995. Tumbuh kembang Anak. Cetakan I.
Jakarta: EGC
Stellpflug, C.
2009. Down Syndrome Facts. Things about
the child with Down Syndrome that every parent should know. Published 2009.
Diakses tanggal 7 Mei 2012. URL :
Tjahjono, H.
2009. Sindroma Down. Diposkan 18
September 2009 pukul 09:18 WIB. Diakses 6 Mei 2011. URL : http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=15&ved=0CFcQFjAEOAo&url=http%3A%2F%2Fherrytjahjono.com%2Findex.php%2Fpdf%2FKesehatan-Health%2Fsindroma-down.pdf&ei=geSlT-r7I86srA
NUMPANG SHARE:
Berita gembira untuk para pengguna android, saat ini android menyediakan aplikasi whaff di google play. Apakah aplikasi Whaff rewards tersebut? aplikasi tersebut adalah aplikasi yang dapat memberikan recehan dollar bagi pengguna aplikasi terserbut. Kenapa tidak..ketika kita menginstal aplikasi tersebut aja dengan login dan memasukan kode kunci untuk start aplikasi kita sudah mendapatkan 0.30$. Recehan dollar akan kita dapat kembali jika kita mendownload dan menginstal games atau aplikasi yang tersedia di whaff tersebut dengan besaran yang diperoleh sekitar 0.05$. semakin banyak mendownload aplikasi dan memainkan aplikasi yang disediakan di whaff tersebut, recehan dollar akan semakin terkumpul. Dollar tersebut dapat diuangkan melalui sistem Paypal. Proses penguangan menggunakan paypal sangat mudah, bisa anda cari di internet. Cara mendownload dan menginstal aplikasi whaff adalah sebagai berikut:
1.Klik Play Store
2.Search Whaff Reward
3.Download
4.Login Via Facebook
5.Setelah Login Akan Di Suruh Masukin Kode, Masukin kode BS75512 Maka Akan Mendapatkan Bonus 0.30$
6.Download Applikasi Yang Tersedia Di Whaff, Setiap Aplikasi Dihargai "$" Berbeda Beda
7.Kumpulkan MINIMAL PAYOUT 10$ baru bisa diuangkan lewat paypal
2.Search Whaff Reward
3.Download
4.Login Via Facebook
5.Setelah Login Akan Di Suruh Masukin Kode, Masukin kode BS75512 Maka Akan Mendapatkan Bonus 0.30$
6.Download Applikasi Yang Tersedia Di Whaff, Setiap Aplikasi Dihargai "$" Berbeda Beda
7.Kumpulkan MINIMAL PAYOUT 10$ baru bisa diuangkan lewat paypal
Cobalah tidak akan merugi
Lucky Club Casino Site Review | Casino site reviews
ReplyDeleteLucky Club Casino is rated 4.5 out of 5 by our members and 33% of them said: "lucky club" and "lucky club". Rating: 4.5 · Review by LuckyClub.live · Price range: luckyclub